Oleh : Iman Munandar, S.H., M.H. (Pegiat Demokrasi)

Dilema PILKADA Oleh Parlemen Daerah

No comment 40 views
banner 160x600

riaubertuah.idIman Munandar, S.H., M.H. (Pegiat Demokrasi)

Kepala Daerah merupakan pemimpin yang dihasilkan melalui pemilihan secara demokratis dan langsung. Wacana memilih kepada daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung memantik kecurigaan publik, bahwa kepala daerah yang dipilih hanya akan ditentukan oleh beberapa puluh orang saja di DPRD. Melihat perkembangan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta hancurnya etika elit politik baik di tingkat nasional terlebih tingkat daerah yang terlihat secara gamblang dihadapan rakyat, tentu upaya tersebut adalah momok terbesar kedepan.

Pemilihan kepala daerah oleh rakyat seyogyanya tidak dibenturkan pada ongkos politik yang terlalu mahal jika saja partai politik telah memiliki kekuatan struktural kebawah, proses kaderisasi yang kuat serta peran pemerintah memberikan pendidikan politik yang seharusnya kepada masyarakat. Implementasi pilkada yang sedang berlangsung saat ini adalah bagian dari proses demokrasi yang baik.

Masyarakat tidak semestinya dijadikan objek bersalah terhadap mahalnya ongkos politik para calon kepala derah. Dibeberapa kejadian, kepala daerah yang berhasil memenangi Pilkada yang dipilih oleh rakyat, kenyataannya bukan berasal dari keluarga kaya raya, bahkan ada kandidat yang memiliki harta hanya ratusan juta namun dapat memenangkan kontestasi Pilkada. Namun tidak dapat dipungkiri juga, bahwa ada kandidat yang secara sengaja menghambur-hamburkan uang hingga puluhan bahkan ratusan milyar faktnya gagal memenangi kontestasi Pilkada.

Mahalnya ongkos politik justru bukan hanya terjadi pada Pilkada yang dipilih oleh rakyat, justru ongkos politik terbesar adalah akumulasi total seluruh biaya para Caleg DPRD Provinsi hingga Caleg DPRD Kab/ Kota. Dibanyak tempat seorang Caleg DPRD Provinsi maupun Kabupaten/ Kota untuk bertempur pada Pileg dapat menghabiskan dana hingga milyaran rupiah. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah utama bagi pemerintah dan partai poltik untuk memperbaiki sistem Pemilu Parlemen yang kenyataannya jauh lebih mahal dari pada Pilkada.

Upaya mengubah pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat terindikasi hanya sebagai keinginan sekelompok elit berkuasa hingga tingkat kabupaten/ kota dengan membentuk oligarki. Hal ini juga merupakan tindakan merampas hak masyarakat yang selama ini telah diberikan. Tentu mayoritas masyarakat tidak akan menerima tindakan mutilasi hak masyarakat tersebut. Tindakan yang bersikap pemaksaan melalui revisi Undang-undang oleh mayoritas elit yang berkuasa demi melanggengkan Pemilihan kepala daerah oleh DPRD, sangat kentara sebagai upaya terstruktur menguasai kepala-kepala daerah.

Negara harus dapat memberikan penghormatan kepada hak warga memilih secara langsung pemimpin mereka didaerah, bukan malah merusak tatanan yang seharusnya diperbaiki oleh negara agar sistem demokrasi langsung melalui rakyat lebih baik dan matang. Parlemen seharusnya lebih fokus memperbaiki tata kerja fungsinya (anggaran, legislasi, pengawasan) agar dapat lebih bermanfaat untuk masyarakat. Menambah fungsi perlemen daerah untuk memilih kepada daerah akan semakin membuat tumbuh suburnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dikalangan elit. Rakyat hanya akan dijadikan sapi perahan pajak, rendahnya kualitas pelayanan publik dan buruknya tanggung jawab kepala daerah kepada rakyat akibat tidak lagi dipilih oleh rakyat.

Indonesia yang berpeluang menjadi negara maju, diharapkan tidak mundur dalam praktek demokrasi Pilkada. Masyarakat secara langsung wajib diberikan kesempatan memilih pemimpinnya. Penguatan praktek-praktek demokrasi adalah tugas utama pemerintah dan partai politik. Harapan bersama tentu di zaman yang sudah sangat maju, keterbukaan informasi, kemajuan teknologi tentu yang diharapkan adalah pemerintah serius dan mampu meningkatkan taraf hidup dan penghasilan masyarakat serta membuka peluang berusaha dan lowongan kerja sebesar-besarnya. Kita tentu berharap tidak malah terjebak hanya pada pesta demokrasi rakyat yang berlangsung sekali lima tahun saja.